BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an
dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang
diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya
berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam Al Qur’an. Para ulama
bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari
seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surat-surat
sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu surat yang
diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat ini berada
di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat.
Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar
gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta
pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat
kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam
surat Al Fatihah.
Kedudukan surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran
Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah (Al-Fatihah)
adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan Al-Qur’anul Adhim.”
(HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan Ummul Kitab atau Ummul
Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya mencakup inti ajaran
Al-Quran.
1.2.Rumusan
Masalah
Untuk memudahkan dalam pembahasan ,
penulis membatasinya dengan memberikan rumusan masalah berikut ini:
1.
Seperti apakah Qur’an
Surat Al-Fatihah Dan Terjemahannya?
2.
Bagaimana
Penjelasan Umum Qur’an Surat Al-Fatihah?
3.
Bagaimana Tafsir Qur’an
Surat Al-Fatihah?
1.3.Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang di
paparkan di atas, penyusunan makalah ini bertujuan:
1.
Untuk
mengetahui Qur’an Surat Al-Fatihah Dan Terjemahannya.
2.
Untuk
mengetahui Penjelasan Umum Qur’an Surat Al-Fatihah.
3.
Untuk
mengetahui Tafsir Qur’an Surat Al-Fatihah.
1.4.Manfat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi ilmu pengetahuan yang terkait dengan pengertian dari pendidikan
multikultural, perkembangan pendidikan multikultural di Indonesia, kurikulum pendidikan
multikulturalisme, serta tantangan-tantangan pelaksanaan pendidikan
multicultural.
2. Manfaat Praktis
Bagi Mahasiswa
Memberikan masukan kepada pihak mahasiswa mengenai
pengertian dari pendidikan multikultural, perkembangan pendidikan multikultural
di Indonesia, kurikulum pendidikan multikulturalisme, serta tantangan-tantangan
pelaksanaan pendidikan multicultural.
1.5.Teknik
Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, teknik
penulisan yang digunakan adalah dengan Teknik
Telaah Pustaka, yaitu meneliti kepustakaan atau buku-buku yang cocok dengan
pokok pembahasan dengan menerangkan sumber-sumber tertulis. Disamping
menggunakan Teknik Telaah Pustaka, kami juga menggunakan teknik Searching, yakni mengambil referensi
dari Internet dengan tujuan untuk
membantu memperjelas dan agar lebih mudah memahami daripada isi makalah
tersebut.
1.6.Sistematika
Penulisan
Agar makalah ini tersusun dengan baik, maka penulis membuat
sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN, yang meliputi
: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan Penulisan, Teknik Penulisan,
Sistematika penulisan.
BAB II. PEMBAHASAN, yang meliputi
: Pengertian dan penjelasan-penjelasan.
BAB III. PENUTUP, yang meliputi:
Kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Surat Al-Fatihah dan Terjemahannya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
[الفاتحة : 1 - 7]
Terjemah
1
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2
Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
3
Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang;
4
Yang
menguasai Hari Pembalasan.
5
Hanya
Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.
6
Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus;
7
(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
2.2
Penjelasan Umum Qur’an Surat
Al-Fatihah
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut
mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[1] Namun
menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di
Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di
Mekkah, sekali di Madinah.[2] Ia merupakan surat pertama dalam
daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali
diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena
secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali
Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4] Selain al-Fatihah, surat ini juga
dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh
Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah
sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh.[5] Selain
kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama,
di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup),[6] asy-Syafiyah (yang
menyembuhkan),[7]
dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
2.3 Tafsir
Qur’an Surat Al-Fatihah
سْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
[الفاتحة : 1]
Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang
Kalimat
basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah
dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup semua
nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada
Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah
yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung
adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi adalah
dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta
petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[9]
Allah adalah
Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut,
pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua
sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah
dan menyembah kepada-Nya.[10]
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة : 2]
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat ini
merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan
karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta
baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung
perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah
satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk
di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang
memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada
makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal
saleh.[11]
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kedua kata
tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmah.
Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang
mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk
menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk
menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita
tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat
kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[12]
Banyak para
ulama yang membedakan antara makna ar-Rahmandan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang
memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim
merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.[13]
Menurut Syekh
Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang
Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan
kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang
Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang
dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[14]
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]
Yang menguasai di hari Pembalasan
Dalam ayat ini,
terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya
dengan huruf mim dibaca panjang (mad).Sedangkan para
qari yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski
bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian
ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna
Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[15]
Menurut Ibnu
Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari
perhitungan.” Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini,
pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut
Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari
ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain,
kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum
ad-din berarti hari ketaatan. [16] Saat
itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة : 5]
Hanya Engkaulah yang kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Dengan
kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah
membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat
tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada
Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah
juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai
perintah dan larangan-Nya.[17]
Shalat
merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud
merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena
dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh
yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas
lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki.
Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada
Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[18]
Ditempatkannya
kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat
“penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran
Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk
beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya,
barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain,
sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan
apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala
sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[19]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة : 6]
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
Menurut Ibnu
Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami
ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu
adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia
berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi,
kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang
agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada
sekutu bagi-Nya.”[20]
Kata
ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas
mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari,
membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum
dalam mushaf Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan
huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca
dengan huruf zay (ز),
sehingga menjadi (الزِراَط).[21]
Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath
(الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.[22]
Kataاهْدِنَا berasal dari akar
kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi,
hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada
kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan.
Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui
kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir.
Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui
kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah melalui diutusnya
para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para
rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah
hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan
baik mereka. Hidayah keempat adalah
hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian
hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman,
Abi Thalib, untuk masuk Islam.[23]
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
[الفاتحة : 7]
yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat ini
merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud
dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah
“jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan
yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada
mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati
tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan
para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga
dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang
yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat
beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[24]
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang
ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan
kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat
tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah
Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para
ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Surat
Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga
mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
Tauhid uluhiyah
sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi
Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb
mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu
merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali
kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya
dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama
menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan
ikhlas untuk mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah
Rasulullah SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya
seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama
dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim”
yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan
seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus.
Adapun tauhid
rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin.” Hal itu
disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus
penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala sesuatu dan
penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di
antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan
tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah
nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat,
“Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah segala
makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin
Abdul Muhsin at-Turki, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman
bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1993).
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan
fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah
wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah,
1422 H).
Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah
al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar,(Beirut:
Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits
Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi,Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt.).
Abu al-Qasim
Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa
‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi,
tt.).
Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh:
Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
Alauddin Ali
bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin),Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani
at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
Fakhruddin
Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2000).
Ibnu Abi Hatim
ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim.
Ibnu
Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil.
Ismail bin
Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1994).
Ismail Haqqi
bin Musthafa al-Istambuli, Tafsir Ruh al-Bayan, (Kairo: Dar at-Turats
al-Arabi, tt).
Jalaludin
as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah
al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974)
Mahmud bin
Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa
as-Sab’i al-Matsani.
Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muhammad
ath-Thahir bin Muhammad bin bin Muhammad at-Thahir bin Asyur at-Tunisi, at-Tahrir
wa at-Tanwir.
Muhammad bin
Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
Muhammad bin
Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban,(Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1993).
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu
Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh:
Muassasah ar-Risalah, 2000).
Muhammad
Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam
Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[2] ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab
at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1,
hal. 15.
[3] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah
az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1391 H), juz 1, hal. 206.
[4] Ismail
bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101.
[5]Ibid.
[6] Jalaludin
as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah
al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190.
[8] Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha. 315.
[9] Abdurrahman
bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir
al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa
ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hal.
10.
[10] Ibid.
[11] Abdullah
bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir
al-Muyassar, hal. 8.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Abu
Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh:
Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.
[16] Ibid.
[17] Muhammad
Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.
[18] Ibid.
[19] Lihat,
Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1,
hal. 6.
[22]
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hal. 170.
[23]
Lihat, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[24] Abu
al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
[25] Ibid., juz
1, hal. 44.
0 komentar:
Posting Komentar